Selasa, 17 September 2013

GORESAN TANAH KELAHIRAN


Pagi itu, ketika aku terbangun dari tidurku tiba-tiba firasatku tidak enak. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, entah apa aku tidak tahu. Ketika aku hendak mengambil air minum ke dapur, tiba-tiba aku merasakan bumi ini berguncang beberapa detik. Guncangannya begitu hebat. Aku merasa bumi ini seakan runtuh, kepalaku pusing, lantai rumahku terayun-ayun, foto-foto yang bergantungan di dinding rumahku berjatuhan, piring-piring dan perkakas lainnya juga ikut berjatuhan dan pecah. Aku mulai dihantui ketakutan, kulihat sekeliling tidak ada siapa pun. Ke mana ibu? Ke mana ayah? Dan ke mana adik-adikku? Beberapa detik kemudian aku baru ingat kalau mereka sedang berkunjung ke rumah nenekku.
          Setelah gempanya berhenti aku berlari keluar rumah dan kulihat para tetangga telah berkumpul bersama anggota keluarganya  di teras rumah masing-masing. Lalu, bagaimana denganku? Ibu, ayah, dan adik-adikku tidak ada. Ketika aku bergabung dengan para tetanggaku, tiba-tiba bumi kembali berguncang. Kali ini guncangannya lebih dahsyat dan waktunya cukup lama. Aku menangis sejadi-jadinya bersama temanku, Syifa anak tetanggaku. Ratap tangis dan jerit ketakutan anak-anak, tiap sebentar terdengar. Ibu-ibu mengendong anaknya ke tempat yang lebih aman. Ketakutan terpantul kuat dari ribuan penduduk yang menghambur keluar rumah.
          Setengah jam berlalu baru keadaan kembali tenang. Aku mencoba kembali ke rumah, siapa tahu ayah, ibu, dan adik-adikku sudah kembali dari rumah nenek. Benar, mereka telah kembali dan aku menangis dipangkuan ibu. Ternyata ibu mencemaskanku, walau terkadang aku tidak mendengarkan perkataannya, walau aku sering menyakitinya. Andai saja aku mendengarkan ajakan ibu untuk berkunjung ke rumah nenek mungkin keadaannya tidak seperti tadi, kami tidak akan terpisah untuk beberapa waktu.
          Kira-kira pukul 08.00 WIB bumi kembali berguncang dahsyat, hujan pun mulai turun. Kali ini tidak hanya piring-piring dan foto saja yang berjatuhan ke lantai, televisi pun ikut terjatuh dan hancur berserakan, lemari pakaianku pun hampir menimpa kepala Humairah, adikkku. Dinding rumahku terayun-ayun oleh guncangan bumi, semua rumah penduduk bergetar terguncang-guncang, terdengar suara bergemuruh,  bukit-bukit di sekeliling rumahku berjatuhan, banyak tanah yang runtuh membawa lumpur hitam membanjiri kampungku.  Air danau terlihat berwarna coklat karena bercampur dengan tanah perbukitan yang berjatuhan. Kami berpegangan erat satu sama lain dan berlari keluar rumah mencari tempat yang aman untuk berlindung. Penduduk berusaha menyelamatkan diri.  Banyak di antaranya yang terhuyung-huyung membawa bayi mereka dalam gendongan. Ratap tangis dan jerit ketakutan, kembali lagi terdengar. Hatiku sangat miris sekali mendengarnya.
          Keluargaku bersama penduduk berbondong-bondong mencari tempat yang aman. Jaringan komunikasi terputus akibat dari gempa bumi, rumah-rumah penduduk banyak yang  rata dengan tanah. Rumahku miring akibat perubahan struktur tanah. Karamba penduduk ikut tertimbun oleh tanah sehingga  banyak ikan-ikan yang mati dan terapung di danau. Di sekitar tempat aku berdiri lumpur hitam telah menggenang sampai ke lututku. Beberapa tetanggaku yang sedang memberi makan ikan di karamba terbenam. Beberapa penduduk tertimbun oleh tanah yang jatuh dari bukit di sekitar tempat kami tinggal. Burung-burung yang biasa bermain di sekitar danau pergi mencari tempat yang aman. Binatang yang biasa hidup di bukit tersebut pergi dari sarang masing-masing untuk menyelamatkan diri.
          Sejauh mata memandang, di pinggir danau Maninjau terlihat bukit-bukit di sekelilingnya seperti tergores, bewarna kemerah-merahan. Rupanya guncangan gempa yang dahsyat itu telah meruntuhkan tanah-tanah perbukitan di sekeliling Danau Maninjau. Kini menyisakan goresan luka di wajah perbukitan yang amat memilukan.
Sekitar dua jam kemudian telah banyak masyarakat mendatangi kampungku. Kami di bawa oleh sebuah truk untuk mengungsi ke daerah Sungai Batang. Di tempat pengungsian tersebut orang-orang telah ramai berkumpul. Asap rokok tercium di mana-mana. Kami tinggal di sebuah tenda yang penuh sesak. Jaringan komunikasi masih terputus, aku belum bisa mengabari keluargaku yang lain mengenai keadaanku sekarang. Pada saat aku di tempat pengungsian, gempa masih terus berguncang. Raut wajah ketakutan dan kepiluan terlihat dari wajah penduduk yang mengungsi.  Untuk beberapa minggu ini aku belum bisa sekolah, karena sekolahku tertimbun oleh tanah perbukitan, transportasi untuk ke sana juga tidak ada. Tiga jam setelah kami sampai di tempat pengungsian, kami diberi mie instan untuk menganjal perut. Dua hari kemudian, nasi bungkus berdatangan dari daerah lain. Tidak tahu siapa pengirimnya, yang jelas mereka tentu saudara kami dari daerah lain. Dalam satu hari, kami diberi makan dua kali sehari. Walaupun telah banyak yang mengirimi makanan kepada kami, tapi tidak semua kami yang kebagian. Setiap hari terjadi perebutan makanan, sampai-sampai aku pernah tidak makan dalam satu hari.
Satu minggu kemudian kami di pindahkan ke dalam ruangan yang luasnya empat kali empat meter. Ruangan ini penuh sesak, di langit-langit tergantung lampu neon 15 Watt. Di sudut ruangan tempat aku mengungsi terdapat sebuah televisi berukuran 14 inchi. Dari berita yang aku lihat disebutkan bahwa gempa yang terjadi di daerahku tersebut berpusat di Padang. Pada tayangan tersebut diperlihatkan bahwa banyak sekali rumah-rumah penduduk yang hancur. Hotel-hotel yang megah dan bangunan-bangunan rata dengan tanah. Banyak korban jiwa akibat gempa tersebut. Bayi-bayi tidak berdosa banyak yang meninggal. Rumah gadang berduka.