Pagi itu, ketika aku terbangun dari
tidurku tiba-tiba firasatku tidak enak. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku,
entah apa aku tidak tahu. Ketika aku hendak mengambil air minum ke dapur, tiba-tiba
aku merasakan bumi ini berguncang beberapa detik. Guncangannya begitu hebat. Aku
merasa bumi ini seakan runtuh, kepalaku pusing, lantai rumahku terayun-ayun, foto-foto
yang bergantungan di dinding rumahku berjatuhan, piring-piring dan perkakas
lainnya juga ikut berjatuhan dan pecah. Aku mulai dihantui ketakutan, kulihat
sekeliling tidak ada siapa pun. Ke mana ibu? Ke mana ayah? Dan ke mana
adik-adikku? Beberapa detik kemudian aku baru ingat kalau mereka sedang berkunjung
ke rumah nenekku.
Setelah
gempanya berhenti aku berlari keluar rumah dan kulihat para tetangga telah
berkumpul bersama anggota keluarganya di
teras rumah masing-masing. Lalu, bagaimana denganku? Ibu, ayah, dan adik-adikku
tidak ada. Ketika aku bergabung dengan para tetanggaku, tiba-tiba bumi kembali
berguncang. Kali ini guncangannya lebih dahsyat dan waktunya cukup lama. Aku
menangis sejadi-jadinya bersama temanku, Syifa anak tetanggaku. Ratap tangis
dan jerit ketakutan anak-anak, tiap sebentar terdengar. Ibu-ibu mengendong
anaknya ke tempat yang lebih aman. Ketakutan terpantul kuat dari ribuan
penduduk yang menghambur keluar rumah.
Setengah
jam berlalu baru keadaan kembali tenang. Aku mencoba kembali ke rumah, siapa
tahu ayah, ibu, dan adik-adikku sudah kembali dari rumah nenek. Benar, mereka
telah kembali dan aku menangis dipangkuan ibu. Ternyata ibu mencemaskanku,
walau terkadang aku tidak mendengarkan perkataannya, walau aku sering
menyakitinya. Andai saja aku mendengarkan ajakan ibu untuk berkunjung ke rumah
nenek mungkin keadaannya tidak seperti tadi, kami tidak akan terpisah untuk
beberapa waktu.
Kira-kira
pukul 08.00 WIB bumi kembali berguncang dahsyat, hujan pun mulai turun. Kali
ini tidak hanya piring-piring dan foto saja yang berjatuhan ke lantai, televisi
pun ikut terjatuh dan hancur berserakan, lemari pakaianku pun hampir menimpa
kepala Humairah, adikkku. Dinding rumahku terayun-ayun oleh guncangan bumi,
semua rumah penduduk bergetar terguncang-guncang, terdengar suara bergemuruh, bukit-bukit di sekeliling rumahku berjatuhan,
banyak tanah yang runtuh membawa lumpur hitam membanjiri kampungku. Air danau terlihat berwarna coklat karena
bercampur dengan tanah perbukitan yang berjatuhan. Kami berpegangan erat satu
sama lain dan berlari keluar rumah mencari tempat yang aman untuk berlindung. Penduduk
berusaha menyelamatkan diri. Banyak di
antaranya yang terhuyung-huyung membawa bayi mereka dalam gendongan. Ratap
tangis dan jerit ketakutan, kembali lagi terdengar. Hatiku sangat miris sekali
mendengarnya.
Keluargaku
bersama penduduk berbondong-bondong mencari tempat yang aman. Jaringan
komunikasi terputus akibat dari gempa bumi, rumah-rumah penduduk banyak
yang rata dengan tanah. Rumahku miring
akibat perubahan struktur tanah. Karamba penduduk ikut tertimbun oleh tanah sehingga banyak ikan-ikan yang mati dan terapung di
danau. Di sekitar tempat aku berdiri lumpur hitam telah menggenang sampai ke
lututku. Beberapa tetanggaku yang sedang memberi makan ikan di karamba
terbenam. Beberapa penduduk tertimbun oleh tanah yang jatuh dari bukit di
sekitar tempat kami tinggal. Burung-burung yang biasa bermain di sekitar danau
pergi mencari tempat yang aman. Binatang yang biasa hidup di bukit tersebut
pergi dari sarang masing-masing untuk menyelamatkan diri.
Sejauh
mata memandang, di pinggir danau Maninjau terlihat bukit-bukit di sekelilingnya
seperti tergores, bewarna kemerah-merahan. Rupanya guncangan gempa yang dahsyat
itu telah meruntuhkan tanah-tanah perbukitan di sekeliling Danau Maninjau. Kini
menyisakan goresan luka di wajah perbukitan yang amat memilukan.
Sekitar dua jam kemudian telah banyak
masyarakat mendatangi kampungku. Kami di bawa oleh sebuah truk untuk mengungsi ke
daerah Sungai Batang. Di tempat pengungsian tersebut orang-orang telah ramai
berkumpul. Asap rokok tercium di mana-mana. Kami tinggal di sebuah tenda yang
penuh sesak. Jaringan komunikasi masih terputus, aku belum bisa mengabari
keluargaku yang lain mengenai keadaanku sekarang. Pada saat aku di tempat
pengungsian, gempa masih terus berguncang. Raut wajah ketakutan dan kepiluan
terlihat dari wajah penduduk yang mengungsi. Untuk beberapa minggu ini aku belum bisa
sekolah, karena sekolahku tertimbun oleh tanah perbukitan, transportasi untuk
ke sana juga tidak ada. Tiga jam setelah kami sampai di tempat pengungsian,
kami diberi mie instan untuk menganjal perut. Dua hari kemudian, nasi bungkus
berdatangan dari daerah lain. Tidak tahu siapa pengirimnya, yang jelas mereka
tentu saudara kami dari daerah lain. Dalam satu hari, kami diberi makan dua
kali sehari. Walaupun telah banyak yang mengirimi makanan kepada kami, tapi tidak
semua kami yang kebagian. Setiap hari terjadi perebutan makanan, sampai-sampai
aku pernah tidak makan dalam satu hari.
Satu minggu kemudian kami di pindahkan
ke dalam ruangan yang luasnya empat kali empat meter. Ruangan ini penuh sesak,
di langit-langit tergantung lampu neon 15 Watt. Di sudut ruangan tempat aku
mengungsi terdapat sebuah televisi berukuran 14 inchi. Dari berita yang aku
lihat disebutkan bahwa gempa yang terjadi di daerahku tersebut berpusat di
Padang. Pada tayangan tersebut diperlihatkan bahwa banyak sekali rumah-rumah
penduduk yang hancur. Hotel-hotel yang megah dan bangunan-bangunan rata dengan
tanah. Banyak korban jiwa akibat gempa tersebut. Bayi-bayi tidak berdosa banyak
yang meninggal. Rumah gadang berduka.